Saturday, October 25, 2008

Here is a story of an angel

Dengan pengabdiannya pada suami dan anak2nya
Bukan berarti bahwa ini mengesahkan kita (wanita) harus di rumah saja
Namun, dimanapun kita berada
Dimanapun kita berdakwah
Jadilah kita bidadari dalam dakwah kita
Bagi yang sudah dapat postingan ini, buat reminder lagi :)
Have a nice cozy balmy day....


Bidadari Seorang Pendiri Pergerakan
Dipublikasi pada Rabu, 25 Agustus 2004 oleh aharis
Artikel ini telah dibaca 314 kali.
Topik: Muslimah

Muslimah Adalah Lathifah As Suri perempuan itu. Ia berdiri disamping
Imam Syahid Al Banna. Sejak awal Imam Syahid telah menegaskan bahwa
ia butuh seorang muslimah yang kokoh, yang tak lekang dan surut oleh
banyaknya halangan dan rintangan dalam berdakwah.

----------

Tidak mudah menjadi istri seorang Hasan Al Banna. Seseorang yang
setiap detik kehidupannya sarat dengan kegiatan dakwah. Di pagi buta
dia sudah bergegas untuk memulai berdakwah dan kembali pulang di
gelap malam. Bisa dipastikan ia adalah seorang muslimah sejati, yang
bisa mengisi kekosongan-kekosong an yang ditinggalkan oleh Imam
Syahid Al Banna.

Adalah Lathifah As Suri perempuan itu. Ia berdiri disamping Imam
Syahid Al Banna. Sejak awal Imam Syahid telah menegaskan bahwa ia
butuh seorang muslimah yang kokoh, yang tak lekang dan surut oleh
banyaknya halangan dan rintangan dalam berdakwah. Perjuangan Imam
Syahid bukanlah suatu hal yang main-main, bukan hanya sekedar dakwah
seperti kebanyakan orang waktu itu. Bukan hanya sekedar membangun
rumah kardus. Imam syahid tengah dan hendak membangun sebuah
peradaban. Dan ia percaya, peradaban tak akan pernah terwujud, tanpa
seseorang yang ia yakini kesejatiannya.

Maka siapapun itu-pendampingnya- harus menyadari bahwa dipundaknya
ada amanah yang sama besarnya dengan yang di emban oleh Imam Syahid.
Ada dimensi waktu dan kuasa kapital disitu. Maka pertemuan diyakini
menjadi suatu hal yang mahal bagi Imam Syahid dan istrinya.

Maka bagi Lathifah As Suri menjadi istri Hasan Al Banna menyimpan
begitu banyak geregap. Sejak awal pernikahan, Lathifah sudah
menyadari bahwa ia harus siap jika sewaktu-waktu dia harus menjalani
hidup sendiri tanpa seseorang, tempat berlabuh hidup dan cintanya.

Dakwah Ikhwah yang dipimpin oleh suaminya banyak meminta resiko yang
bukan main-main. Penjara bahkan nyawa menjadi konsekuensi logis, yang
sewaktu-waktu siap menyapanya.

Tanpa diminta, Lathifah sudah tahu dan mengerti bagaimana ia harus
menempatkan dirinya. Ia memutuskan menutup seluruh aktivitas luarnya.
Hanya satu yang ia curahkan, jihad utamanya adalah dilingkup rumahnya
sendiri. Mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka
berdua adalah dua hal yang tidak kalah pentingnya dengan yang
dilakukan oleh Hasan Al Banna.

Sebelum menikah dengan Hasan Al Banna, Lathifah berasal dari keluarga
yang taat beragama. Hingga tak heran jika ia menyadari betul tuntutan
hidup menjadi istri seorang dai.

Malam, ia harus rela untuk terbangun menyambut kepulangan suaminya.
Walau tak jarang Imam Syahid berlaku sangat hati-hati, bahkan hanya
untuk membuka pintu rumahnya sekalipun. Jauh dilubuk hatinya, Imam
Syahid tidak ingin mengganggu tidur bidadari terkasihnya yang telah
seharian mengurus rumah dan anak-anak mereka berdua. Imam Syahid
bahkan tak segan untuk menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.

Lathifah tidak pernah mengeluh, walau sehari-harinya hanya ia
habiskan seputar rumah dan rumah saja. Ia tidak pernah menuntut lebih
kepada Imam Syahid. Padahal, Lathifah pun -berlepas diri dari ia
seorang istri Imam Syahid- menyimpan banyak potensi. Anak-anak mereka
yang berjumlah enam orang sesungguhnya adalah pencurahan
konsentrasinya menjalani hidup. Satu-satunya yang pernah membuat
dirinya gamang adalah, ketika salah satu anak mereka sakit keras dan
Imam Syahid harus tetap menjalankan jihadnya. Ia bertanya kepada
suaminya,"Bagaimana jika ia meninggal?". Imam Syahid hanya menarik
napas panjang, ia kemudian berujar "Kakeknya lebih tau bagaimana
mengurusnya. "

Sejak dini, Lathifah menanamkan wawasan keislaman kepada anak-
anaknya. Mendorong mereka untuk membaca, sehingga dalam hidupnya
mereka tidak terpengaruh dengan seruan-seruan destruktif. Ketika Imam
Syahid bolak-balik keluar penjara, Lathifah berusaha bersabar dan
komitmen.

Lathifah sangat menyadari peran dan kewajiban asasi seorang wanita
sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ia kosongkan waktunya untuk
mendidik anak2nya. Ia bahagia melihat anak-anaknya sukses dalam hal
akhlak dan amal. Ini tak mungkin terjadi jika seorang ibu sibuk di
luar rumah. Seorang anak tidak mungkin belajar tentang akhlak dan
amal dari orang selain ibunya.

Ketika Hasan Al-Banna syahid, anak-anaknya belumlah dewasa. Lathifah
tidak lantas menyerah. Tak ada kesah ataupun ketakutan dalam hatinya.
Ia sangat memelihara apa yang dikehendaki oleh mendiang suaminya. Ia
tetap berlaku didalam rumah. Lathifah tidahk meremehkan hudud
(batasan) yang Allah tentukan. Karenanya, tak heran diantara anak-
anaknya tidak ada ikhtilat (percampuran) antara anak-anaknya dan
sepupunya yang berlainan jenis.

Tidak ada yang berubah dirumah itu, apa yang Imam Syahid inginkan
berlaku dikeluarganya masih tetap di pegang teguh oleh Lathifah.
Sendirian, ia besarkan keenam anaknya. Dirumahnya kini ia mempunyai
tugas tambahan, yaitu memperdalam wawasan keislamannya. Yang dimaksud
dengan wawasan keislamannya adalah membaca Al-Quran dengan tafsirnya,
mempelajari Sunnah Rasulullah SAW, haditsnya dilanjutkan dengan usaha
kuat untuk menerapkannya. LAthifah juga masih menyempatkan diri
mempelajari sejarah para salafussalih dan berita seputar dunia Islam.
Lathifah menyadari menyepelekan masalah ini akan memunculkan
persoalan serius. Seorang yang tidak menambah pengetahuan
keislamannya, akan merasa sulit untuk bangga dengan keagungan dan
kebesaran Islam. Dengan melalui pemahaman keislaman yang baik,
seorang wanita akan menyadari betapa penting perannya terhadap
keluarga dan masyarakat.

Perjuangan Lathifah membuahkan hasil yang gemilang. Semua anaknya
sukses meraih predikat formal dalam pendidikan ilmiah. Yang sulung,
bernama Wafa-menjadi istri Dr.Said Ramadhan. Kedua Ahmad Saiful
Islam, kini sebagai sekjen advokat di Mesir. Ia juga pernah duduk di
parlemen. Ketiga bernama Tsana, kini sebagai dosen di Universitas
Kairo. Kelima Roja, kini menjadi dokter. Dan Halah sebagai dosen
kedokteran anak di Universitas Azhar. Dan terakhir, Istisyhad sebagai
doktor ekonomi Islam. Semuanya itu sebagai bukti, betapa berartinya
sosok Ibu bagi keberhasilan dakwah sang suami. Selain juga untuk anak-
anaknya, tentu.

************ ********* *

Sekedar info tambahan:

Hasan Al Banna syahid diusianya yang masih muda, sekitar 40 tahunan.
Setelah seberondong timah panas ditembakkan oleh musuh-musuh Islam di
sebuah jalan di Kairo.

Sebenarnya Hasan Al Banna masih bisa diselamatkan, tapi karena
konspirasi politik para musuh Islam yang dipimpin oleh sang
pengkhianat la'natullah Gamal Abden Naser, membuat tubuh Hasan Al
Banna yang sedang sekarat dibiarkan tak berdaya, tanpa bantuan dari
siapapun juga, termasuk dokter-dokter di Rumah Sakit.

Akhirnya sang pendiri Ikhwanul Muslimun itu pun syahid menemui
kekasih tercintanya, Rabbnya.

Musuh-musuh Islam pun banyak yang tertawa dan berpesta dengan
syahidnya sang Imam, tapi sesungguhnya Hasan Al Banna tidak pernah
pergi meninggalkan pengikutnya.

Allah terlalu mencintai hamba-Nya yang satu ini, sehingga
memanggilnya terlebih dahulu.

Hal yang memilukan adalah, meskipun Ikhwanul Muslimun mempunyai
puluhan ribu pengikut, tapi tak seorangpun yang diijinkan untuk
mensholati jenazah beliau, kecuali ayahnya yang sudah udzur, saudara
perempuan dan istrinya.

MUNGKI RAHADIAN
International Master of Business Administration
College of Management
National Cheng Kung University
Tainan, Taiwan ROC.

No comments: