Sunday, May 31, 2009

Sekolah Cinta: Diakah teman sejati itu...



Diakah teman sejati itu?

oleh mohammad fauzil adhim

Awalnya adalah penerimaan yang tulus, selanjutnya akan lahir kelapangan jiwa untuk memaafkan kesalahan-kesalahan dan keikhlasan hati untuk menerima kekurangan. Betapa pun banyaknya perbedaan, akan selalu ada titik temu sehingga melahirkan har¬moni yang indah. Bukankah orkestra yang megah itu dibangun dengan perbedaan-perbeda¬an? Bukankah konser nasyid Raihan yang memukau itu dibangun dengan penuh perbedaan? Tetapi perbedaan itu dikelola dengan baik, dipahami, diterima dan dimanfaatkan untuk menghasilkan harmoni.
Pernikahan pun demikian. Bukan banyaknya persamaan yang menjadi penjamin ke¬bahagiaan. Bukan. Kalau sama-sama pemarah, sama-sama mudah naik pitam dan sama-sama kepala batu? Barangkali bukan rumah-tangga sebutan yang paling tepat untuknya, melainkan arena tinju. Di dalamnya suami isteri saling menunggu kesempatan untuk menyerang, setidak¬nya mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati. Sebaliknya, ketika salah satunya meng¬ingatkan, yang lain segera memasang pertahanan diri. Kalau sudah seperti ini, komunikasi tidak bisa jalan. Konflik sudah membayang di pelupuk mata, atau bahkan sudah terjadi. Dan perceraian menghantui mereka setiap saat, kecuali jika mereka segera memperbaiki diri dan menyadari kekeliruan-kekeliruannya.
Teringatlah saya pada sebuah kasus. Sebelum menikah, lama sekali mereka berpacaran. Tetapi sesudah 24 tahun mereka menikah, tak kurang dari 15 tahun di antaranya pisah ran¬jang. Apakah sebabnya? Bukan uang yang kurang. Uang bahkan berlebih buat mereka, meski mereka tak pernah merasa cukup. Tetapi apakah yang sanggup dibeli oleh uang selain benda-benda? Uang hanya bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan nikmatnya tidur di atasnya. Uang bisa membeli makanan, tetapi bukan lahapnya makan. Uang bisa membeli hiburan, tetapi bukan ketenteraman jiwa. Uang bisa membeli kesenangan, tetapi bukan keba¬hagiaan. Uang juga bisa membeli senyuman, tetapi bukan ketulusan.
Maka apakah yang dapat kita banggakan dengan uang di rumah kita jika untuk tercip¬tanya harmoni, uang justru tak sanggup berbuat apa-apa kecuali sedikit? Maka apakah yang dapat kita harapkan dari cantiknya wajah dan eloknya rupa, jika kecantikan wajah itu dapat dengan mudah hilang pesonanya tatkala cemberut? Maka apakah yang dapat kita jadikan sebagai jaminan akan ada¬nya harmoni dalam rumah-tangga jika tinggi kedudukan justru hanya melahirkan kerendahan-kerendahan yang tak terelakkan?
Ada yang perlu kita benahi. Tentang tenangnya jiwa setelah menikah, perlu kita telusuri sebab-sebabnya, mengapa ada yang menemukan dan mengapa banyak lagi yang tidak?
Mari kita ingat sejenak ketika Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada kita, “Dan di antara tanda-tanda kekua¬saan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu dari jenismu sen¬diri istri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dija¬dikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguh¬nya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).
Litaskunuu ilaiha. Kata-kata ini tidak diantarai oleh kata-kata yang lain. Sepanjang yang saya fahami, ini bermakna bahwa kenteraman dalam perkawinan, ketenangan jiwa sesudah menikah, akan hadir dengan sendirinya sejauh pernikahan itu memang memenuhi syarat untuk mendapatkan sakan (ketenangan). Setiap pernikahan dengan sendirinya akan melahirkan ketenteraman jiwa apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan yang dibe¬rikannya; dilakukan dengan niat yang benar dan proses yang benar. Ibarat membeli pro¬duk elektronik, kalau yang kita beli sepenuhnya legal, maka kita akan mendapatkan ga¬ransi dari produsennya.
Berbeda dengan sakinah, kata kunci berikutnya diantarai oleh kata ja’ala (diturun¬kan, dilimpahkan, dijadikan). Butuh upaya yang sungguh-sungguh untuk meraih mawa¬ddah dan rahmah. Jika sudah ada usaha yang sungguh-sungguh, maka Allah ‘Azza wa Jalla yang akan menggenapkan usaha kita. Adapun sakinah, yang kita harus lakukan di waktu-waktu berikutnya adalah merawat dan menjaga agar tidak pudar. Apalagi sampai hilang tak berbekas.
Tetapi…
Kita berbincang kali ini bukan tentang bagaimana merawat cinta dan memupuk¬nya agar bersemi indah. Sebelum berjalan terlalu jauh, mari kita tengok kembali langkah-langkah sebelum menikah. Kalau sekiranya saat ini Anda masih sendiri dan masih sedang bersiap untuk melangkah, mudah-mudahan catatan sederhana dapat menjadi bekal ber¬harga. Adapun kalau saat ini sudah ada pendamping hidup yang menemani hari-hari Anda, saya berharap tulisan ini dapat menjadi renungan untuk mengingat kembali per¬jalanan. Mungkin ada yang bisa kita perbaiki saat ini. Mungkin ada yang bisa kita insafi atas jalannya pernikahan yang barangkali tak terlalu sesuai dengan harapan sebelum me¬langkah. Semoga dengan itu, arah pernikahan kita akan kembali menemukan kesejukan dan keindahan. Atau jika selama ini, hari-hari yang kita jalani setelah menikah begitu gersang dan hampa, mudah-mudahan kita segera mene¬mukan harmoni perkawinan yang indah dan membang¬kitkan semangat.
Kadang ada yang aneh pada diri kita. Kita berha¬rap pendamping yang mau menerima kita apa adanya, tulus mencintai kita, ikhlas mendampingi kita dan berse¬dia memaafkan kesalahan-kesalahan kita. Tetapi tatkala mencari pendamping hidup, ada begitu banyak kriteria yang kita tetapkan. Kita mempunyai keinginan yang be¬gitu banyak, dan sebagian besar di antaranya untuk ke¬pentingan diri kita sendiri. Kita lupa bertanya, “Kalau alasan untuk memilih dan menerima begitu banyaknya, bagaimana mungkin kita akan bertemu dengan orang yang mau menerima apa adanya? Kalau untuk memilih kita begitu peka terhadap kekurangan, bagaimana mung¬kin akan mendapatkan orang yang mau berlapang dada menerima kekurangan?”
Sebagian orang menyibukkan diri dengan penilaian tentang apa yang bisa terjadi kemudian, tetapi lupa mempersiapkan diri bagaimana menata rumah-tangga yang penuh kebahagiaan. Mereka menghabiskan waktu untuk mencari pasangan yang ideal, tetapi tak pernah menyempatkan waktu untuk menjadi yang ideal untuk pasangannya. Mereka bahkan merasa tak cukup dengan kriteria yang dituntunkan oleh Rasulullah saw..
Astaghifirullahal ‘adzim… alangkah jahilnya kita. Ataukah kita yang sesungguhnya sangat sombong di hadapan Allah, padahal ilmu sudah kita miliki?
Astaghfirullahal ‘adzim… Laa ilaaha illa Anta, subhana-Ka inni kuntu minadz dzalimin.
Kadang ada di antara kita yang menginginkan suami melebihi seorang Nabi. Arti¬nya, bahkan Nabi saw. pun tidak memenuhi kriteria itu apabila ia menyadari. Demikian sulitnya kriteria itu dipenuhi sampai-sampai ia terkalahkan oleh dirinya sendiri, sehingga ketika tiba masa di mana ia tak sanggup lagi menahan sepinya hidup sendiri, ia akhirnya memutuskan menikah. Tetapi ketika itu, sudah tidak ada orang-orang yang patut yang mau datang meminang.
Astaghfirullahal ‘adzim… betapa sering kita mengaku beriman, tetapi tidak percaya pada janji-janji-Nya dalam Al-Qur’an. Kita mengaku mengimani Allah Yang Menjamin Rezeki setiap makhluk-Nya, tetapi untuk menikah harus dengan orang yang sudah mapan ekonominya. Padahal kekayaan bisa hilang seketika, dan yang tak hilang bisa kehilangan barakahnya. Kalau harta sudah kehilangan barakahnya, dimana kedamaian hatiakan kita cari? Kalau harta sudah kehilangan barakahnya, kemana kita akan pergi untuk menemu¬kan tulusnya cinta? Kemanakah kita akan mencari tempat untuk berteduh jika rumah yang luas membuat hati kita sempit?
Kemana? Ya… ya… ya…, kemana akan kau cari? Kemana engkau akan pergi, jika terhadap dirimu sendiri pun engkau telah lupa?
Kita lupa bahwa jauhnya harmoni dari rumah kita, kerapkali karena kita sendiri yang salah dalam menetapkan harapan. Berikut ini beberapa harapan yang rawan terha¬dap kekecewaan (ssst… bukan karena pasangannya yang mengecewakan, tapi karena sikap kita yang egoistik):
 Aku ingin suami yang mau penuh perhatian.
“Perhatikanlah aku, tapi jangan berharap perhatian dariku.” Orang ini mudah mengalami kekecewaan karena merasa tidak diperhatikan suaminya.
 Aku ingin istri yang senantiasa mengerti perasaanku.
“Apakah aku harus bicara? Dia kan seharusnya sudah mengerti seperti apa perasaanku.” Jangan kaget kalau ia mudah ngambek, tidak peka terhadap perasaan istrinya, tetapi justru merasa istrinya tidak mau mengerti perasaannya.
 Aku ingin pendamping yang mau mendengarkanku ketika aku butuh didengarkan dan bisa menjadi teman bercerita.
“Dengarkan aku dulu! Aku belum selesai bercerita. Sudah berapa kali cerita itu engkau sampaikan padaku?” Kenyataannya, tidak ada pendamping yang benar-benar bisa mendengar kapan saja, bercerita saat dibutuhkan, dan diam saat tidak diinginkan kecuali… pesawat televisi.
 Aku mau istri yang tidak pakai kaca-mata.
“Sering-seringlah bercelak. Tak ada dana untuk beli kaca-mata. Apalagi berobat.” Sebenarnya yang dibutuhkan orang ini bukan istri, tetapi pramugari.
Ini hanya sebagian dari alasan-alasan yang sering muncul ketika seseorang mencari pendamping hidup, dan semuanya bersifat egoistik. Orang-orang semacam ini tidak siap be¬rumah-tangga. Ia tidak siap menjalani kewajiban pernikahan dengan menjalankan kewajiban secara seimbang, mempergauli dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) dan berkata dengan perka¬taan yang baik (qaulan ma’rufah). Ia tidak siap untuk itu. Apalagi mendahulukan kewajiban dan mengakhirkan hak. Alasan-alasan semacam ini sangat rawan konflik. Kekecewaan per¬kawinan sangat mudah terjadi.
Sepanjang pengalaman saya menjumpai orang-orang yang sering bermasalah dalam perkawinannya, sebagian besar bersebab pada alasan awal memilih pendamping. Mereka mu¬dah kecewa bukan karena pendampingnya tidak memiliki kebaikan, tetapi karena banyaknya harapan yang secara tidak sadar terus menerus menjadi pembanding. Sama seperti seperti ketika kita mendengar lantunan nasyid dari teman yang berkumpul saat santai, separau apa pun suaranya selalu terdengar merdu. Tetapi suara munsyid yang paling indah, bisa terasa hambar dan biasa-biasa saja kalau harapan kita terlalu tinggi. Dan dalam perkawinan, semua itu banyak bermula dari alasan awal yang menggerakkan kita menentukan pilihan.
Maka…
Berendah hati dalam menetapkan pilihan, insya-Allah justru akan membukakan pintu-pintu kebaikan yang sangat besar. Cukuplah hal-hal yang mendasar saja sebagai patokannya. Semoga dengan itu Allah ‘Azza wa Jalla menggenapkan yang kurang dan menyempurnakan tiap-tiap perkara yang masih perlu dibenahi. Jika Allah sudah menetapkan barakah yang besar bagi pernikahan kita, insya-Allah setiap langkah menjadi kebaikan. Dan kalau ada airmata yang sesekali harus tumpah, ibarat tanaman, ia menyirami benih-benih kebaikan. Bukankah nikmatnya masakan apabila telah bercampur garam seukuran yang cukup? Bukankah anak-anak kadang harus demam sebelum bisa berjalan?
Teringatlah saya dengan sabda Nabi saw.:

“Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) yang engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila ti¬dak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Di dalam hadis lain yang sangat populer, Nabi saw. pernah mengingatkan agar kita memilih karena zatid dien (keberagamaannya), niscaya akan beruntung. Di bagian lain ada anjuran untuk memilih yang waluud (subur rahimnya) dan waduud (penyayang). Dua hal ini, lebih mendorong kita untuk menikah sebagai upaya melahirkan generasi yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah. Semua ini berbicara tentang satu hal: idealisme! Ada idealisme yang harus diperjuangkan dalam pernikahan. Bukan menyibukkan diri memperjuangkan kriteria-kriteria ideal yang harus dicapai ten¬tang seorang pendamping. Yang pertama membawa kita menemukan teman sejati. Sedang¬kan yang kedua justru dapat menjauhkan kita dari kesejatian dalam perkawinan.
Berkenaan dengan ini, ada yang menarik untuk kita renungkan. Sepanjang saya perhatikan, umunya semakin lambat seseorang menikah semakin banyak kriteria yang ditetapkan, kecuali pada orang-orang yang berhati-hati dengan dirinya. Agaknya, ini banyak berkait dengan masa peka di tiap usia. Munculnya kriteria yang semakin banyak dan sekaligus menjadikan orang semakin peka terhadap apa yang “tidak ideal” kerap muncul setelah usia menginjak 30 tahun; usia dimana seseorang berada pada masa ideal menjadi orangtua awal. Usia ini memang peka terhadap sesuatu yang bersifat ideal. Bukan terhadap pendamping hidupnya, tetapi terhadap anak yang dicita-citakan untuk masa depan. Tetapi jika menikah saja belum? Anda sendiri yang bisa menjawab.

No comments: