Sunday, May 31, 2009

Sekolah Cinta: Saat Jodoh tak kunjung datang


Saat Jodoh tak kunjung datang

Ada saat-saat ketika resah tak menemukan jawabnya. Ada saat-saat ketika gelisah tak menemukan muaranya kecuali dengan menikah. Di saat kesendirian tak sanggup kita tanggungkan, sementara peristiwa suci itu tak datang-datang juga, ada yang perlu kita renungkan dengan hati yang jernih; “kesendirian yang panjang itu, apakah sebabnya sehingga tak kunjung berakhir?”
Ada yang tak bisa kita jawab, karena semua rahasia ada dalam genggaman-Nya. Teta¬pi ada satu hal yang bisa kita coba telusuri diam-diam, dengan hati yang tenang dan jiwa yang bersih. Kita mencoba merenung sejenak secara jujur, apakah lambatnya jodoh itu merupakan ujian atas ketakwaan kita yang tinggi kepada-Nya, sebagai teguran atas kekhilafan-kekhilafan –dan bahkan mungkin kesombongan kita—terhadap apa yang diberikan Allah kepada kita, ataukah jodoh sesungguhnya belum saatnya tiba. Bukankah segala sesuatu ada masanya sen¬diri? Bukankah kematian juga tidak datang pada saat yang sama, usia yang sama dan keadaan yang sama untuk setiap orang?
Cobalah bertanya sejenak pada suara nuranimu, tanpa perlu menitikkan airmata duka. Kalau malam telah lelap, dan suara-suara telah sunyi, renungkanlah dengan jernih apakah jodoh yang tak datang-datang itu untuk menakar keimanan kita kepada-Nya? Apakah jodoh yang tak datang-datang itu sebagai kesempatan dari Allah agar kita menyiapkan bekal yang lebih sempurna untuk memenuhi amanah sebagai istri dan ibu atas anak-anak yang kita lahir¬kan kelak?
Cobalah untuk bertanya. Cobalah! Cobalah! Dan tahanlah dulu kerisauan itu….

Kadang Ia adalah Ujian
Apa yang salah pada Nabi Zakariya? Usianya telah senja, tulang-tulangnya telah le¬mah, dan kepalanya dipenuhi oleh uban yang memutih. Tetapi di usia yang setua itu, tak ada keturunan. Padahal perjuangan harus ada yang melanjutkan. Seperti yang diberitakan dalam surat Maryam, Nabi Zakariya mengetuk pintu Allah dengan memanjatkan do’a, “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, wahai Tuhanku.Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul. Maka, anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (QS. Maryam: 4-6).
Ya, apa yang salah pada Nabi Zakariya? Ia tak pernah kecewa dalam berdo’a. Setiap waktu, ia habiskan untuk memenuhi amanah yang diembankan Allah kepadanya sebagai Nabi dan Rasul. Tetapi inilah sebagian di antara rahasia-rahasia Allah. Ia berikan ujian kepada hamba-hamba-Nya agar dengan itu orang-orang yang mengaku beriman, teruji keimanannya; dan orang-orang yang benar-benar mencintai-Nya dapat memperoleh kedudukan yang lebih tinggi di sisi-Nya. Ibarat kita sekolah, ada ujian yang harus kita tempuh ketika kita ingin naik kelas. Sesungguhnya, Allah tidak akan memberi ujian yang melebihi batas kesanggupan ham¬ba-Nya. Kata Allah:
“…Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah beri¬kan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakan¬nya….” (QS. Al-Baqarah: 286).
Sesungguhnya, Allah tidak pernah mengabaikan setiap kebaikan hamba-Nya. Meng¬ucap salam adalah kebaikan; sedekah adalah kebaikan; membebaskan tetangga kita dari rasa lapar yang melilit adalah kebaikan; dan bersabar menghadapi ujian merupakan kebaikan yang amat tinggi. Atas kesabaran Nabi Zakariya menghadapi tidak adanya keturunan, Allah turun¬kan dari sisi-Nya seorang putra yang memiliki kemuliaan sangat tinggi. Seorang anak yang memiliki hikmah semenjak masih belia, ketika anak-anak lain masih asyik dengan mainannya. Belum pernah Allah ciptakan manusia yang lebih baik darinya.
Allah berfirman:
“Hai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (memperoleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam: 7).
Kelak Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat Yahya putra Zakariya sebagai Nabi. Allah mensifati Yahya –buah kesabaran Nabi Zakariya ini dengan firman-Nya:
“Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa, dan banyak berbakti kepada kedua orangtuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam 12-14).
Inilah karunia tak ternilai bagi Nabi Zakariya. Kerna bersabar atas ujian yang diberikan kepa¬danya, Allah Ta’ala menganugerahkan keturunan yang menjadi kebaikan sejak hari dilahirkan. Allah mengabarkan, “Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahir¬kan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 15).
Apa yang bisa kita catat dari kisah Nabi Zakariya? Ujian melahirkan kemuliaan. Sesungguhnya, sesudah ke¬sulitan ada kemudahan. Dan sesungguhnya akan Allah adakan jalan keluar yang terbaik dari sisi-Nya bagi orang-orang yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman, “…. Barang¬siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengada¬kan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)¬Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaaq: 2-3).
Pertanyaannya, apakah yang kita hadapi sekarang merupakan ujian dari Allah? Wallahu A’lam bishawab. Saya tidak bisa menjawab. Yang bisa mengetahui adalah diri kita masing-masing. Nurani kita yang dapat meraba. Karena itu, bertanyalah pada hati nuranimu.
Selebihnya, ada beberapa hal yang dapat kita catat. Kalau engkau sudah bersungguh-sungguh menata diri, mempersiapkan hati dan mencari ilmu untuk menikah, tetapi belum datang-datang juga. Kalau engkau sudah menyerahkan segalanya kepada Allah tentang sia¬pa yang akan menjadi pendampingmu. Kalau engkau sudah berusaha dengan sepenuh hati untuk menjemput jodoh, tetapi tetap tak kunjung terjawab kegelisahan itu. Kalau engkau su¬dah didesak oleh kerinduan sembari di saat yang sama senantiasa menjaga diri. Maka, terlam¬batnya jodoh datang kepadamu merupakan ujian bagimu.
Teringatlah saya pada Miranda Risang Ayu. Di saat ia butuh pegangan untuk mengu¬atkan hatinya sebagai mu’allaf, ia berdo’a pasrah kepada Allah. Ia menangis kepada Tuhannya, kiranya Allah karuniakan baginya seorang suami yang dapat menguatkan iman. Tak penting apa pekerjaannya; tukang becak pun tak masalah asal dapat membantu ia menegakkan iman. Ia betul-betul siap menerima asal imannya kepada Allah tetap kokoh.
Inilah bentuk keyakinan kepada Allah. Ada kesabaran di dalamnya. Kelak Allah ha¬dirkan baginya seorang suami seperti yang ia harapkan; seorang suami yang membantu me¬ngokohkan imannya. Seorang suami yang dapat menjadi teman diskusi, bertukar pikiran dan berbagi wawasan sekaligus sahabat dalam menegakkan iman. Ternyata, yang Allah karunia¬kan kepadanya melebihi do’a yang ia panjatkan.
Kisah ini sekali lagi mengajarkan kepada kita tentang satu hal: obatnya menghadapi ujian adalah sabar. Sabar dalam menanti takdir. Sabar dalam berusaha. Sabar dalam berjuang. Sabar dalam berdo’a. Dan sabar dalam memegangi kebenaran. Semoga dengan demikian, kita termasuk orang-orang yang mendapat pertolongan Allah. Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan sesungguhnya dalam setiap perkara, selalu ada bisikan-bisikan ke arah yang sesat dan ke arah takwa kepada-Nya.
Allah berfirman, “Maka diilhamkan kepada jiwa fujur dan takwa. Sesungguhnya beruntung¬lah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya, merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 8-10).
Wallahu A’lam bishawab.

Barangkali, Kitalah Penyebabnya
Menjelang tengah malam, seorang ikhwan mengirim SMS kepada saya. Dia seorang aktivis yang amat banyak menghabiskan waktunya untuk menyebar¬kan kebaikan. Bila ber¬bicara dengannya, kesan yang tampak adalah semangat yang besar di dadanya untuk mela¬kukan perbaikan. Kalau saat ini yang mampu dilakukan masih amat kecil, tak apa-apa. Sebab perubahan yang besar tak ‘kan terjadi bila kita tidak mau memulai dari yang kecil. Tetapi kali ini, ia berkirim SMS bukan untuk berbagi semangat. Ia kirimkan SMS karena ingin meringan¬kan beban yang hampir tak sanggup ia tanggung. Ketika usianya semakin bertambah, ia me¬rasakan ada kerinduan yang semakin bertambah untuk memiliki pendamping yang dapat menyayanginya sepenuh hati.
SMS ini mengingatkan saya pada beberapa kasus lainnya. Usia sudah melewati tiga puluh, tetapi belum juga ada tempat untuk menambatkan rindu. Seorang pria usia sekitar 40 tahun, memiliki karier yang cukup sukses, merasakan betapa sepinya hidup tanpa istri. Ingin menikah, tapi takut tak bisa mempergauli istrinya dengan baik. Sementara terus melajang me¬rupakan siksaan yang nyaris tak dapat ditahan. Dulu ia ingin menikah, ketika kariernya belum seberapa. Tetapi niat itu dipendam dalam-dalam karena merasa belum mapan. Ia harus me¬ngumpulkan dulu uang yang cukup banyak agar bisa menyenangkan istri. Ia lupa bahwa ke¬bahagiaan itu letaknya pada jiwa yang lapang, hati yang tulus, niat yang bersih dan peneri¬maan yang hangat. Ia juga lupa bahwa jika ingin mendapatkan istri yang bersahaja dan mene¬rima apa adanya, jalannya adalah dengan menata hati, memantapkan tujuan dan meluruskan niat. Bila engkau ingin mendapatkan suami yang bisa menjaga pandangan, tak bisa engkau meraihnya dengan, “Hai, Cowok…. Godain kita, dong.”
Saya teringat dengan sabda Nabi Saw. (tapi ini bukan tentang nikah). Beliau berkata, “Ruh itu seperti pasukan tentara yang berbaris.” Bila bertemu dengan yang serupa dengannya, ia akan mudah mengenali, mudah juga bergabung dan bersatu. Ia tak bisa bersatu dengan yang bertentangan. Jadi, bagaimana mungkin engkau bisa mendapatkan pendamping yang mencintaimu dengan sederhana, sementara engkau jadikan gemerlap kemapananmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan suami yang menerimamu sepenuh hati dan tidak ada cinta di hatinya kecuali kepadamu, sementara engkau berusaha meraihnya dengan menawarkan kencan sebelum terikat oleh pernikahan? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan lelaki yang terjaga bila engkau mendekatinya dengan menggoda?
Di luar soal cara, kesulitan yang kita hadapi saat ingin meraih pernikahan yang diri¬dhai tak jarang karena kita sendiri mempersulitnya. Suatu saat seorang perempuan yang su¬dah tidak terlalu muda lagi menge¬luhkan penderitaan batinnya. Di saat ia memerlukan per¬hatian dan kasih-sayang seorang suami, ia tidak mendapatkannya. Di saat ia merindukan ha¬dirnya se¬orang anak yang ia kandung sendiri dengan rahimnya, tak ada suami yang meng¬hampirinya. Padahal kecantikan telah ia miliki. Apalagi dengan penampilannya yang enak dipandang. Begitupun uang, tak ada lagi kekhawatiran pada dirinya. Jabatannya yang cukup mapan di perusahaan me¬mungkinkan ia untuk membeli apa saja, kecuali kasih-sayang suami.
Kesempatan bukan tak pernah datang. Dulu, sudah beberapa kali ada yang mau serius dengannya. Tetapi demi karier yang diimpikan, ia menolak semua ajakan serius. Kalau kemudian ada hubungan perasaan dengan seseorang, itu se¬batas pacaran. Tak lebih. Sampai karier yang diimpikan terca¬pai; sampai ia tiba-tiba tersadar bahwa usianya sudah tidak terlalu muda lagi; sampai ia merasakan betapa sepinya hidup tanpa suami, sementara orang-orang yang dulu bermaksud serius dengannya, sudah sibuk mengurusi anak-anak mereka. Sekarang, ketika kesadaran itu ada, mencari orang yang mau serius dengannya sangat sulit. Sama sulitnya menaklukkan hatinya ketika ia muda dulu.
Masih banyak cerita-cerita sedih semacam itu. Mereka menunda pernikahan di saat Allah memberi kemudahan. Mereka enggan melaksanakannya ketika Allah masih memberi¬nya kesempatan karena alasan belum bisa menyelenggarakan walimah yang “wah”. Mereka tetap mengelak, meski terus ada yang mendesak; baik lewat sindiran maupun dorongan yang terang-terangan. Meski ada kerinduan yang tak dapat diingkari, tetapi mereka menundanya karena masih ingin mengumpulkan biaya atau mengejar karier. Ada yang menampik “alasan karier” walau sebenarnya tak jauh berbeda. Seorang akhwat menunda nikah meski ada yang mengkhitbah karena ingin meraih kesempatan kuliah S-2 (“Tahun depan kan belum tentu ada beasiswa.”). Ia mendahulukan pra-sangka bahwa kesempatan kuliah S-2 tak akan datang dua kali, lalu mengorbankan pernikahan yang Rasulullah Saw. telah memperingatkan:
“Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) yang engkau ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila ti¬dak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Saya tidak tahu apakah ini merupakan hukum sejarah yang digariskan oleh Allah. Ketika orang mempersulit apa yang dimudahkan oleh Allah, mereka akhirnya benar-benar mendapati keadaan yang sulit dan nyaris tak menemukan jalan keluarnya. Mereka menunda-nunda pernikahan tanpa ada alasan syar’i, dan akhirnya mereka benar-benar takut melangkah di saat hati sudah sangat menginginkannya. Atau ada yang sudah benar-benar gelisah, tetapi tak kunjung ada yang mau serius dengannya.
Kadangkala, lingkaran ketakutan itu terus berlanjut. Bila di usia-usia dua puluh ta¬hunan mereka menunda nikah karena takut dengan ekonominya yang belum mapan, di usia menjelang tiga puluh hingga sekitar tiga puluh lima berubah lagi masalahnya. Laki-laki sering mengalami sindrom kemapanan (meski wanita juga banyak yang demikian, terutama mendekati usia 30 tahun). Mereka menginginkan pendamping dengan kriteria yang sulit dipenuhi. Seperti hukum kategori, semakin banyak kriteria semakin sedikit yang masuk kategori. Begitu pula dengan kriteria tentang jodoh, ketika kita menetapkan kriteria yang terlalu banyak, akhirnya bahkan tidak ada yang sesuai dengan keinginan kita. Sementara wanita yang sudah berusia sekitar 35 tahun, masalah mereka bukan soal kriteria, tetapi soal apakah ada orang yang mau menikah dengannya. Ketika usia sudah 40-an, ketakutan yang dialami oleh laki-laki sudah berbeda lagi, kecuali bagi mereka yang tetap terjaga hatinya. Jika sebelumnya banyak kriteria yang dipasang, pada usia 40-an muncul ketakutan apakah dapat mendampingi istri dengan baik. Lebih-lebih ketika usia sudah beranjak mendekati 50 tahun, ada ketakutan lain yang mencekam. Ada kekhawatiran jangan-jangan di saat anak masih kecil, ia sudah tak sanggup lagi mencari nafkah. Atau ketika masalah nafkah tak merisaukan (karena tabungan yang melim¬pah), jangan-jangan ia sudah mati ketika anak-anak masih perlu banyak dinasehati. Bila tak ada iman di hati, ketakutan ini akhirnya melahirkan keputus-asaan. Wallahu A’lam bishawab.
Ya… ya… ya…, kadang kita sendirilah penyebabnya. Kita mempersulit apa yang telah Allah mudahkan, sehingga kita menghadapi kesulitan yang tak terbayangkan. Kita mem¬perumit yang Ia sederhanakan, sehingga kita terbelit oleh kerumitan yang tak berujung. Kita menyombongkan atas apa yang tidak ada dalam kekuasaan kita, sehingga kita terpuruk da¬lam keluh-kesah yang berke¬panjangan.
Maka, kalau kesulitan itu kita sendiri penyebabnya, beristighfarlah. Semoga Allah berkenan melapangkan jalan kita dan memudahkan urusan kita. Laa ilaaha illa Anta, subhana¬Ka inni kuntu minazh-zhalimin.
Berkenaan dengan sikap mempersulit, ada tingkat-tingkatnya. Seseorang menolak untuk menikah boleh jadi karena matanya disilaukan oleh dunia, sementara agama ia tak me¬ngerti. Belum sampai kepadanya pemahaman agama. Boleh jadi seseorang menunda-nunda nikah karena yang datang kepadanya beda harakah, meskipun tak ada yang patut dicela dari agama dan akhlaknya. Boleh jadi ada di antara kita yang belum bisa meresapi keutamaan menyegerakan nikah, sehingga ia tak kunjung melakukannya. Boleh jadi pula ia sangat me¬mahami benar pentingnya bersegera menikah, sudah ada kesiapan psikis maupun ilmu, telah datang kesempatan dari Allah, tetapi… sukunya berbeda, atau sebab-sebab lain yang sama sepelenya.

Ada Yang Tak Bisa Kita Ingkari
Kadang ada perasaan kepada seseorang. Seperti Mughits –seorang sahabat Nabi Saw.—kita selalu menguntit kemana pun Barirah melangkah. Mata kita mengawasi, hati kita mencari-cari dan telinga kita merasa indah setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu be¬gitu kuat bersemayam di dada. Bukan karena kita menenggelamkan diri dalam lautan perasa¬an, tetapi seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengutip dari Al-Mada’iny, “Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta.”
Perasaan ini kadang mengganggu kita, sehingga tak sanggup berpikir jernih lagi. Kadang membuat kita banyak berharap, sehingga mengabaikan setiap kali ada yang mau se¬rius. Kita sibuk menanti –kadang sampai membuat badan kita kurus kering—sampai batas waktu yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa yakin bahwa dia jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh kita harus dia, tetapi tak ada langkah-langkah pasti yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita tersiksa oleh angan-angan.
Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika rasa sayang itu ada? Inilah yang insya-Allah kita perbincangkan lebih mendalam pada makalah Masih Ada Tempat untuk Cinta. Selebihnya, kita cukupkan dulu pembicaraan itu sampai di sini.

Tuhan, Jangan Biarkan Aku Sendiri
Di atas semua itu, Allah bukakan pintu-pintu-Nya untuk kita. Ketuklah pertolongan-Nya dengan do’a. Di saat engkau merasa tak sanggup menanggung kesendirian, serulah Tu¬hanmu dengan penuh kesungguhan, “Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian. Dan Engkau adalah sebaik-baik Warits.” (QS. Al-Anbiya’: 89).
Rabbi, laa tadzarni fardan wa Anta khairul waritsin.
Ini sesungguhnya adalah do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Zakariya untuk memohon keturunan kepada Allah Ta’ala. Ia memohon kepada Allah untuk menghapus kesendiriannya karena tak ada putra yang bisa menyejukkan mata.
Sebagaimana Nabi Zakariya, rasa sepi itu kita adukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla se¬moga Ia hadirkan bagi kita seorang pendamping yang menenteramkan jiwa dan membaha¬giakan hati. Kita memohon kepada-Nya pendamping yang baik dari sisi-Nya. Kita memasrah¬kan kepada-Nya apa yang terbaik untuk kita.
Kapan do’a itu kita panjatkan? Kapan saja kita merasa gelisah oleh rasa sepi yang men¬cekam. Panjatkan do’a itu di saat kita merasa amat membutuhkan hadirnya seorang pendam¬ping; saat hati kita dicekam oleh kesedihan karena tidak adanya teman sejati atau ketika jiwa dipenuhi kerinduan untuk menimang buah hati yang lucu. Panjatkan pula do’a saat hati me¬rasa dekat dengan-Nya; saat dalam perjalanan ketika Allah jadikan do’a mustajabah; dan saat-saat mustajabah lainnya.


Ketika Wanita Harus Menawarkan Diri
TIDAK ADA yang lebih berat yang dapat saya rasakan kecuali ketika saya harus menuliskan perkara yang agung ini ke hadapan Anda. Seandainya perkara ini tidak sangat penting dan mengabaikannya tidak menyebabkan orang merasa asing terhadap masalah yang dibenarkan Allah dan Rasul-Nya ini, saya lebih memilih untuk berdiam diri. Akan tetapi, karena saya me¬ngetahui masalah ini haq adanya dan banyak saudara saya yang membutuhkan keterangan tentang masalah ini, akhirnya saya memberanikan diri menuliskannya dengan segala keter¬batasan ilmu, seraya saya mohonkan ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ingatkanlah jika terdapat yang batil dalam tulisan ini. Sesudahnya, mari kita ingat dalam membahas masalah ini bahwa Tuhan kita satu, agama kita satu, dan kita sama-sama bernabikan Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Siapa pun kita, selagi masih bernama manusia, sama nilainya di hadapan Allah. Tidak ada yang mem-bedakan, kecuali ketakwaan kepada Tuhan Pencipta Alam. Maka, marilah kita pandang saudara-sau¬dara kita dengan pe¬nuh kemuliaan karena yang menciptakan adalah Yang Mahamulia. Dan, alangkah hinanya diri kita, terutama yang menulis makalah ini, apabila sampai khilaf memandang mereka yang menegakkan kehormatan agamanya dengan pandangan yang rendah. Sesungguhnya, kita hanya berasal dari setetes air hina yang menjijikkan.
Semoga Allah mengampuni yang menulis buku ini, ibu-bapaknya, keturunannya, istrinya, saudara-sauda¬ranya, sahabat-sahabatnya serta kaum muslimin seluruh¬nya. Semoga Allah melapangkan hati Anda, orang tua Anda, saudara-saudara Anda, sahabat-sa¬habat Anda, serta kaum mukminin seluruhnya. Allahumma amin.
’Amma ba’du.
Saya telah menerima berbagai pertanyaan tentang wanita yang menawarkan diri, apakah patut dilakukan? Dan, apakah tidak rendah derajat wanita yang mengambil inisiatif terlebih dahulu? Lebih dari itu, apakah dibenarkan dalam ajaran Islam jika seorang wanita menawarkan diri kepada seorang laki-laki yang telah diketahui kebaikan agamanya? Sesungguhnya, memang ada di antara sauda¬ra kita yang bermaksud untuk menawarkan dirinya, tetapi terbentur oleh pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sebagian di antaranya ada yang telah paham, tetapi tidak mengetahui cara melakukannya sehingga kehormatan tetap dapat ditegakkan.
Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya ingin me-nyatakan segenap rasa hormat saya yang mendalam ke-pada Anda. Selanjutnya, saya berharap bisa menjawab pertanyaan Anda dengan sungguh-sungguh melalui tulis-an ini.
Sesungguhnya, tidak ada halangan bagi seorang wani-ta untuk menawarkan diri. Para sahabat Nabi dan ulama yang saleh memandang sikap menawarkan diri sebagai sesuatu yang terpuji dan termasuk di antara kemuliaan seorang wanita. Berkenaan de¬ngan ini, sebuah hadits dari riwayat Bukhari menarik untuk kita simak.
Tsabit al-Bunnani berkata,
”Aku berada di sisi Anas (bin Malik) dan di sebelahnya ada anak perempuannya. Anas berkata, ’Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw. menawarkan dirinya seraya berkata, ’Wahai Rasulullah, apakah engkau berhasrat ke-padaku?’ Maka anak perempuan Anas berkata, ’Alangkah sedikit perasaan malunya. Idiih…, idiih….’ Anas berkata, ’Dia lebih baik daripada engkau. Dia menginginkan Nabi saw. lalu menawarkan dirinya kepada beliau.” (HR Bukhari)
Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya yang ber-judul Kebebasan Wanita, jilid 5, mengutip syarah Ibnu Hajar al-Asqalani atas hadits ini, ”Dan di dalam hadits ini terdapat beberapa faedah, antara lain bahwa orang yang ingin kawin dengan orang yang lebih tinggi kedudukan-nya itu tidak tercela, karena mungkin saja keinginannya itu men¬dapatkan sam¬butan yang positif, kecuali jika menurut adat yang berlaku yang demikian itu pasti ditolak, seperti seorang rakyat jelata hendak meminang putri raja atau saudara perempuannya.”
Ibnu Hajar menambahkan, ”Dan seorang wanita yang menginginkan kawin dengan laki-laki yang lebih tinggi kedudukannya daripada dirinya juga tidak tercela, lebih-lebih jika dengan tujuan yang benar dan maksud yang baik, mungkin karena kele¬bihan agama laki-laki yang hendak dilamar atau karena suatu keinginan yang apabila didiamkan saja akan menye¬babkannya terjatuh ke dalam hal-hal yang terlarang.”
Keterangan Ibnu Hajar ini mengingatkan saya kepada tulisan Husein Muhammad Yusuf dalam buku Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam (Gema Insani Press, 1995). Menurutnya, sikap menawarkan diri menun-jukkan ketinggian akhlak dan kesungguh¬an untuk mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah dan untuk mendapatkan pahala-Nya.
Masih banyak lagi komentar dari para ulama yang jernih ilmunya dan mendalam pemahamannya. Hampir dapat dipastikan, semuanya bernada positif terhadap sikap mena¬warkan diri. Meskipun demikian, kita tidak akan menyibukkan diri dengan pujian-pujian me¬reka sehingga kita terpesona, lantas melalaikan cara menawar-kan diri agar perkara yang baik itu juga berbuah kebaikan. Kita bisa mengutip pendapat para ulama itu seperlunya, sekadar agar kita lebih yakin bahwa menawarkan diri merupakan jalan yang lurus. ’Alaa kulli hal, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan agar maksud yang baik itu berlangsung dengan baik serta membawa akibat yang baik.
Selengkapnya, inilah beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Semoga Allah membukakan jalan yang lempang kepada Anda dan tidak memberikan kepada Anda kecuali kebaikan di dunia dan akhirat. Allahumma amin.
 Belajar dari Khadijah
Tidak ada pernikahan yang lebih agung ba¬rakah-nya selain pernikahan Kha¬dijah radhiallahu ’anha dengan manusia yang paling dicintai Allah, Muham¬mad al-Musthafa saw.. Banyak hal yang menarik dari pernikahan agung ini. Salah satu hal yang paling mena¬rik yang dapat saya ceritakan kepada Anda adalah bahwa pernikahan seagung ini, diawali dari inisiatif Khadijah r.a.. Wanita pengusaha inilah yang memulai proses dengan menawarkan diri sehingga akhirnya berlanjut kepada pernikahan suci. Ke¬tika itu Khadijah telah berusia 40 tahun qamariyyah (lunar system), sedang¬kan Muhammad al-Musthafa baru berusia 25 tahun. Khadijah sudah menjanda, sedangkan Muhammad masih perjaka lajang. Begitu menurut sebuah riwayat.
Nah, ketika sekarang Anda bermaksud hen¬dak menawarkan diri kepada orang yang tidak Anda ragukan lagi akhlak dan agamanya, alangkah baiknya jika Anda menyimak sejenak ihwal proses Khadijah menawarkan diri. Semoga dengan demikian, Anda da¬pat meraih kemuliaan dunia dan akhirat karena keting¬gian akhlak dan ketepatan cara yang tempuh.
Sebelum Khadijah memutuskan untuk menawarkan diri kepada Muhammad--ketika itu belum menjadi Nabi--langkah pertama yang diambil adalah dengan mencari informasi sejelas-jelasnya dan setepat-tepatnya. Untuk itu, Khadijah mengutus Maisarah, seorang kar¬yawan laki-laki yang bekerja padanya agar mengikuti perjalanan dagang yang dipimpin oleh Muhammad. Khadijah menempatkannya sebagai asisten Mu¬hammad. Hal ini bisa dilakukan karena Muhammad waktu itu berstatus karyawan dalam misi perdagangan Khadijah.
Setelah memperoleh informasi yang rinci dan cukup, Khadijah kemudian mengutus Nafisah binti Munayyah--seorang wanita setengah baya, berusia sekitar 50 tahunan. Nafisah inilah yang bertugas untuk menjajaki kemungkinan dan sekaligus menawarkan apabila terlihat adanya peluang. Hal pertama yang ditanyakan oleh Nafisah binti Munayyah bukanlah kese¬diaan Muhammad menikah dengan Khadijah, tetapi hal-hal yang bersifat umum terlebih da¬hulu. Nafisah menanyakan mengapa Muhammad lebih suka membujang. Bukankah berumah-tangga dengan didampingi seorang istri dapat membuat hidup menjadi lebih tenteram dan lebih baik? Menikah akan menghilangkan kesepian.
Pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan untuk penjajagan itu terus diajukan oleh Nafisah binti Munayyah. Ketika ditemukan isyarat-isyarat bahwa Muhammad sesungguhnya berkeinginan untuk menikah, tetapi tidak mengetahui dengan siapa ia akan menikah, Nafisah ber¬kata, ”Jika Anda dikehendaki oleh seorang wanita rupawan, hartawan dan bangsawan, apakah Anda bersedia menerimanya?”
Dari pertanyaan Nafisah ini mengertilah Muhammad bahwa yang menghendakinya adalah Khadijah. Singkat cerita, pernikahan pun dilangsungkan. Sebelumnya, keluarga Muham¬¬mad mengajukan peminangan secara resmi kepada keluarga Khadijah. Ketika itu, keluarga Muhammad diwakili oleh pamannya, Abu Thalib dan Hamzah. Sementara, Muhammad ikut serta dalam rombongan.
Berangkat dari kisah Khadijah ini, ada tiga hal penting yang kita perlu mencatatnya baik-baik sebelum menawar-kan diri. Pertama, carilah informasi sedetail-detailnya dan setepat-tepatnya sebelum memutuskan untuk menawar-kan diri sehingga tidak terjadi ganjalan di tengah-tengah proses. Padahal, kita sendiri yang berinisiatif untuk menawar¬kan diri. Kedua, hendaknya Anda menawarkan diri melalui perantaraan orang lain, bu¬kan diri sendiri. Melalui cara ini, penjajakan awal dapat dilakukan dengan lebih baik. Baru setelah jelas terdapat ke¬mungkinan positif, penawaran lebih lanjut dapat dilakukan. Dengan demikian, dapat dihin¬dari hal-hal yang tidak perlu karena pengajuan penawaran yang tergesa-gesa. Ketiga, orang yang diminta untuk menjadi perantara adalah wanita yang sudah setengah baya. Ini bukan kebetulan. Wanita setengah baya cenderung lebih mengerti ba¬gaimana mengkomunikasikan maksud Anda kepada laki-laki usia 20 tahunan. Komunikasi yang baik dan sesuai dengan orang yang dihadapi, insya Allah akan memberikan hasil yang lebih baik. Gagal ataupun ber¬hasil upaya penawaran diri tersebut, komunikasi yang baik akan menjadikan upaya itu lebih bermartabat. Orang memberikan penilaian yang lebih baik ter¬hadap maksud tersebut. Keempat, proses menuju pernikahan tetap dilanjutkan dengan peminangan secara resmi oleh pihak laki-laki. Hal ini sangat penting untuk menegakkan kehormatan. Di sisi lain, peminangan oleh pihak laki-laki merupakan simbol dari kesang¬gupan untuk bertanggung jawab atas pernikahan yang akan dilangsungkan. Sebab, bagaimanapun juga laki-lakilah nanti yang harus memim¬pin keluarganya.
Satu hal lagi yang harus kita perhatikan. Pada saat Khadijah menawarkan dirinya, Muhammad masih muda. Beliau belum pernah menikah. Secara teoretis, emosi laki-laki usia 20 tahunan masih belum terlalu matang, meskipun ia sudah dewasa. Kematangan emosi yang benar-benar mantap, dicapai pada usia 40 tahunan. Perbedaan kematangan ini akan melahir¬kan perbedaan cara menanggapi sehingga melahirkan perbedaan pula dalam cara menawarkan diri. Apa yang bisa kita lakukan jika orang yang kita hendak menawarkan diri kepadanya telah memiliki kematangan emosi yang benar-benar man¬tap? Marilah kita bersama menyimak subbab berikut ini.

 Ia Menawarkan Dirinya kepada Nabi
Dari Sahal bin As’ad as-Sa’idi, ia menceritakan bahwa telah datang seorang wanita kepada Rasulullah saw. sera-ya berkata, ”Wahai Rasulullah, aku datang untuk mem¬berikan diriku kepada engkau.” Maka beliau pun melihat-nya dengan menaikkan dan me¬nepatkan pandangan ke-padanya. Kemudian beliau menundukkan pandangan.
Ketika melihat bahwa beliau tidak memberikan keputusan, wanita itu pun tertun¬duk. Selanjutnya, salah seorang sahabat berdiri seraya berucap, ”Wahai Rasulullah, jika eng¬kau tidak tertarik kepadanya, maka nikahkanlah aku dengannya.”
Beliau bertanya, ”Apakah engkau mempunyai sesuatu?”
Sahabat itu pun menjawab, ”Wahai, Rasulullah, demi Allah aku tidak memiliki apa-apa.”
Selanjutnya beliau berkata kepadanya, ”Pergilah kepada keluargamu dan lihat¬lah, apakah mendapatkan sesuatu di sana?”
Sahabat itu pun pergi dan kembali seraya berkata, ”Demi Allah, aku tidak menda¬patkan apa-apa di sana.”
Beliau masih memerintahkan kepadanya, ”Carilah, meskipun hanya sebuah cin¬cin dari besi!”
Kemudian ia pun pergi dan kembali seraya berkata, ”Ya Rasulullah, demi Allah aku tidak mendapatkan apa-apa meskipun hanya sebentuk cincin dari besi. Akan tetapi, aku mem¬punyai kain ini (Sahal mengatakan bahwa sahabat itu mempunyai selendang) untuk diberi¬kan setengahnya kepada wanita itu.”
Beliau pun bertanya, ”Apa yang akan kauperbuat dengan kainmu itu? Karena, jika kamu memakainya maka wanita itu tidak akan mendapatkan apa-apa dan jika ia memakainya maka kamu ti¬dak akan mendapatkannya.”
Ia lalu duduk. Setelah beberapa saat, ia berdiri dan Rasulullah saw. melihatnya me¬langkahkan kaki untuk pergi. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk memanggilnya. Ketika ia datang, beliau bertanya, ”Surah apa yang engkau hafal dari Al-Qur`an?”
Ia pun menjawab, ”Aku hafal surah ini dan itu.” Lalu ia pun membacakannya.
Beliau bertanya, ”Apakah engkau bisa membacakan surah itu di hadapan wanita yang hen¬dak engkau lamar dengan hafalanmu itu?”
Ia pun menjawab, ”Bisa.”
Akhirnya beliau bersabda, ”Pergilah, karena sesungguhnya aku telah menjadi¬kan wanita itu sebagai milikmu dengan ayat-ayat Al-Qur`an yang ada padamu.” (HR Muttafaqun ’alaih)
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari hadits Mutafaq ’alaih ini. Namun, pelajaran terpenting yang terkait dengan pembahasan kita sekarang, adalah apabila ada seorang laki-laki yang kita berkehendak terhadapnya sudah tergolong matang secara emosional dan baik aga-manya, maka kita bisa menyampaikan langsung kepadanya. Inilah yang per¬nah ditempuh oleh Rabi’ah asy-Syamiyah tatkala menawarkan dirinya kepada Syekh Ahmad bin Abu al-Hu¬wari--seorang laki-laki yang dikenal kebaikan agamanya dan ke¬luhuran akhlaknya. Sesudah berkonsultasi dengan gurunya, Syekh Ahmad akhirnya me¬nikah dengan Rabi’ah asy-Syamiyah.
Pada masa sekarang, penyampaian maksud secara langsung bisa ditempuh dengan cara yang lebih beragam. Yang demikian ini tidak menjadi masalah sejauh kehormatan dapat terjaga.
Wallahu a'lam bish-shawab.

 Orang Tua Menawarkan Putrinya
Nabi Syu’aib a.s. sudah terlalu tua untuk menggem-balakan domba-dombanya. Ka¬rena itu, beliau mengutus kedua putrinya untuk melakukan pekerjaan tersebut. Meskipun demikian, mereka tidak cukup kuat untuk ikut berebut air. Ketika itulah Nabi Musa a.s. me¬lihat mereka, lalu menolong mengambilkan air untuk mereka.
Selepas mengambilkan air, Musa a.s. diminta untuk mengantarkannya hingga ke rumah. Nabi Musa a.s. berjalan di muka, sedangkan kedua putri Nabi Syu’aib itu berjalan di belakangnya. Sesampainya mereka di rumah, putri Nabi Syu’aib menceritakan kepada ayah¬nya tentang peristiwa yang baru saja terjadi pada mereka. Syafura, salah seorang putri Nabi Syu’aib, sangat terkesan dengan sikap dan perilaku Musa a.s.. Kepada ayahnya ia menuturkan agar ayahnya menjadikan Musa sebagai orang yang dapat bekerja bersama mereka. Ini meru¬pakan ungkapan halus atas perasaannya kepada Musa--yang kelak diangkat oleh Allah seba¬gai Nabi. Nabi Syu’aib kemudian menikahkan Musa a.s. dengan Syafura, putrinya. Sebagai maskawin, Musa akan bekerja bersama mereka selama delapan tahun.
Dari kisah putri Syafura dengan ayahnya, Nabi Syu’aib a.s., marilah kita beranjak menengok Umar bin Khaththab r.a., seorang sahabat Nabi yang utama. Sepeninggal suaminya, Hafshah hidup menjanda. Ini sangat merisaukan perasaan Umar bin Khaththab. Ia tidak tega melihat putrinya dalam usia semuda itu harus menjanda. Karena itu, ia berinisiatif menawar¬kan putrinya kepada orang yang telah teruji keluhuran akhlaknya dan kematangan hidup-nya. Kepada Utsman bin Affan yang istrinya baru saja meninggal, ia datang. Namun, Utsman menjawab, ”Saya pikir, saat ini saya belum berminat un¬tuk kawin.”
Kemudian ia datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Tetapi, sahabatnya ini menang¬gapi dengan diam dan tidak menjawab sehingga membuat Umar bin Khaththab marah. Ber¬untung beberapa malam kemudian Rasulullah saw. meminang putrinya sehingga luka di ha¬tinya terobati. Ketika itulah Abu Bakar datang dan berkata kepada Umar, ”Mungkin engkau marah dan kurang senang kepadaku. Ketika engkau menawarkan Hafshah, aku diam dan tidak menjawab sepatah kata pun.”
Umar menjawab, ”Ya, benar.”
Lalu, Abu Bakar berkata, ”Sebenarnya, aku ingin sekali menerima tawaranmu itu, tetapi sebelum engkau menawarkan Hafshah kepadaku, aku sudah mendengar bahwa Nabi saw. menyebut-nyebut hendak meminangnya. Dan, aku tidak mau membuka rahasia beliau kepadamu. Namun, jika beliau tidak jadi meminangnya, tentu akan kuterima tawaranmu de¬ngan senang hati.”
Kisah Umar bin Khaththab menawarkan putrinya ini diriwayatkan oleh Imam Bu¬khari dalam Shahih-nya. Saya menceritakannya kembali kepada Anda secara ringkas, sekadar untuk menunjukkan orang tua yang menawarkan anak perempuannya. Mereka menawarkan anaknya kepada orang yang diyakini kebagusan akhlak dan agamanya.
Jika Nabi Syu’aib menikahkan putrinya dengan Nabi Musa a.s. atas dasar ”masukan” dari putrinya, maka Umar bin Khaththab berinisiatif menawarkan Hafshah r.a. dikarenakan rasa belas kasihnya kepada putri tercinta. Pelajaran yang bisa kita petik dalam perkara ini, jika ada di antara Anda yang merasa mantap dengan akhlak dan aga¬ma seseorang, maka Anda dapat menyampaikannya kepada orang tua untuk menindak¬lanjutinya. Ini lebih baik daripada Anda mengemukakan sendiri secara langsung kepada yang bersangkutan. Penyam¬paian melalui orang tua seringkali lebih dapat menjaga maksud. Orang tua umumnya lebih mampu menyampaikan dengan cara yang baik dan terhormat daripada Anda sendiri. Penye¬babnya ada dua hal--paling tidak demikian, yakni pengalaman yang lebih banyak sehingga lebih mengetahui cara mengemukakannya dan mampu mengam¬bil jarak dari keterlibatan emosi (perasaan) sehingga dapat tersampaikan secara le¬bih jernih. Wallahu a'lam bish-shawab.
Jadi, jika memang ada orang yang mantap agama dan akhlaknya, mengapa Anda membiarkannya mengganggu perasaan Anda? Mengapa tidak Anda sampaikan kepada orang tua sebagai¬mana putri Syafura menyampaikan kepada ayahnya, Nabiyullah Syu’aib a.s.? Mengapa persoalan yang semacam ini Anda biarkan membuat rusuh hati Anda? 

ditulis ulang oleh:
Melvina Amir
Apartement Taman Tenaga
Blok A 102 Malaysia
8:59 am
May 20, 2008
Source: hand out Seminar"...." Fauzil adzim
KBRI Kuala lumpur

No comments: